Hari Minggu, bagi saya selalu istimewa dan mengantongi cita rasa berbeda.
Bukan, ini bukan karena semata saya telah cukup lama tidak menikmati atau turut berpartisipasi aktif dalam romantisme hari Sabtu seperti layaknya anak-anak muda lain. *ciee jomblo*
Begitulah Sabtu. Namun untuk saya, hari Minggu tetap jauh lebih unik dan memiliki tempat khusus di hati. Saya menyimpan banyak ingatan berharga disana. Ingatan yang hari ini kembali muncul ketika saya duduk di bangku kayu panjang pada ruang keluarga di rumah, menikmati kopi ginseng jawa ditemani sepiring pisang goreng hangat sembari tak sengaja menonton serial kartun pagi
***
Tiba-tiba saya terlempar dan mendarat empuk di atas sebidang kasur kapuk, di kamar tengah yang jendelanya terhubung langsung dengan teras depan dengan semilir angin pagi yang sejuk. Saya sedang berada pada masa sekitar 12 tahun lalu. Pada sebuah Minggu pagi, dimana saya belum mengenal apapun, kecuali keluarga, belajar, dan bersenang-senang.
Hidung saya bahkan masih mampu membaui aromanya. Aroma tubuh sendiri yang belum akrab dengan minyak wangi yang biasa saya usapkan di sekujur pakaian. Saya mencoba mengurutkan kembali episode-episode Minggu yang rutin, namun tak pernah sekalipun kehilangan ruhnya.
Ketika itu, anak-anak serta para remaja tanggung sedang ramai menggilai kegiatan bersepeda, dan saya kebetulan termasuk didalamnya. Maka bersama beberapa kawan, saat langit masih malas menghadirkan matahari, saya selalu menguasai jalanan depan rumah, memacu sepeda bmx merah yang sedikit dimodifikasi agar berlari lebih cepat dari biasanya. Tidak ada siapapun di jalan sepanjang 30 meter itu, kecuali saya dan kawan-kawan bersepeda. Semakin mahir, semakin kencang saya meluncur. Balap sepeda pun jadi hal yang rutin dilakukan bersama kawan-kawan. Waktu itu, saya seolah sedang terbang dibelai udara pagi yang masih perawan, membiarkan benda-benda di samping kanan kiri saya hanya terlihat bagai lukisan abstrak, hanya tampak sebagai warna. Menyenangkan sekali.
Bersama sepeda itu pula saya akhirnya mengalami luka, pertama kali, setelah balapan dengan kawan dan pada akhirnya ditabrak mobil dari arah berlawanan. Lutut kiri dan kedua telapak tangan menyapu aspal jalan, celana harus robek, darah menetes kemana-mana. Kami akhirnya harus pulang berjalan kaki, menuntun sepeda yang sudah tak lingkaran lagi roda depannya. Yang saya pikirkan saat itu bukan sakit karena lukanya, tapi sayang sekali saya seharusnya sudah jadi pemenang balap jika tidak bertemu mobil yang menabrak tadi. Tapi ya sudahlah, saya terima kekalahan dengan luka dalam. Begitulah masa kecil, separah-parahnya luka yang dialami tak terasa sakit sama sekali karena saking menyenangkannya.
Saya juga masih mengingat dengan baik, ketika Minggu meletakkan saya dan adik laki-laki saya satu-satunya, duduk bersila di ubin hitam, menikmati menu utama makan pagi: telur mata sapi, sayur kacang panjang, dan susu sapi hangat. Demikian, kami –saya dan adik- sengaja tidak duduk di kursi ruang makan, karena pada jam itu ada beberapa tontonan wajib yang akan membuat hari Minggu kami tidak sah jika kami tidak menontonnya dengan khusuk. Mereka adalah Doraemon, Shinchan, P-Man, Let's and Go (Tamiya), Hamtaro, Dr. Slump, Ksatria Baja Hitam, Gundam, Detective Conan, Saint Seiya, Dragon Ball, Ultraman, Pokemon, Digimon, Power Ranger, Yu-Gi-Oh, dan (apa lagi ya?), yah pokoknya itulah, serial yang apabila saya tonton kembali saat ini, mungkin terasa kurang penting dan garing. Saya agak lupa urutan tayangnya, namun seingat saya, semuanya adalah acara favorit kami berdua.
Dua belas tahun yang lalu, saya masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar dan baru dipercaya ibu untuk melakukan ritual makan sendiri. Maka jadilah makanan berceceran dimana-mana, pipi tertempeli nasi dan minyak, hanya karena saya belum mampu membagi konsentrasi antara menggerakkan tangan dengan mata tetap setia mengarah ke layar televisi. Apalagi ketika si Kotaro Minami sedang berubah wujud mengenakan kostum ksatrianya, lalu mengejar monster aneh penuh lendir hijau, menggunakan belalang tempur yang baru keluar dari garasi, entah garasi siapa. Si Kotaro, seperti jagoan lainnya, hampir pasti menang dan nasib si monster lendir selalu berakhir tragis. Tubuhnya meleleh dan berasap, jadi abu. Ah, seru. Jantung saya selalu ikut berdebar kencang. Sementara menu sarapan pagi yang bertugas untuk disantap seringkali lupa untuk ditandaskan.
Di sisi lain ketika menonton Power Ranger, ada satu hal yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan yang belu terjawab bagi saya. Cerita di serial Power Ranger itu mudah sekali ditebak, musuhnya selalu mengeluarkan monster dalam ukuran kecil lalu dikalahkan Power Ranger kemudian monsternya menjadi raksasa. Pertanyaannya, tiap episode pasti pihak monster itu kalah, tahu begitu kenapa musuhnya tidak mengeluarkan monsternya langsung ukuran raksasa saja ya? kan lumayan tuh, Power Rangernya nggak ada persiapan sehingga akan mudah dikalahkan nantinya.
Selain Power Ranger, ada yang lebih aneh lagi, film Ultraman. Kita pasti tidak asing dengan film yang satu ini, musuhnya yaitu monster raksasa yang datang dari planet lain di luar angkasa untuk menghancurkan bumi. Tapi, anehnya si monster ini sepertinya tidak mengerti geografi. Kenapa si monster jauh-jauh dari planet lain selalu turunnya di Jepang? kan di Jepang sudah ada Ultraman yang pasti bakal mengalahkan monster raksasa. Coba si monster turunnya di Amerika, kan ketemunya sama Power Ranger. Kan lumayan tuh, Power Rangernya nggak ada persiapan melawan monster raksasa sehingga akan mudah dikalahkan nantinya, hehe.
Satu lagi, tapi yang ini tidak pernah menimbulkan pertanyaan bagi saya. Setiap menonton serial Doraemon, saya kerap berkhayal berada di dunianya Nobita, dengan alat-alat ajaib yang menakjubkan, harapan anak-anak pada masa itu. Tapi sayang sekarang sudah muncul film terbaru yang katanya episode terakhir Doraemon - Stand By Me. Akan sulit rasanya melepas masa kecil yang bahagia itu tuk terakhir kalinya.
Minggu juga selalu menjadi hari paling indah, karena kami dilegalkan untuk tidak tidur siang. Kebijakan internal keluarga itu kami pergunakan untuk berkeliaran, saling bertandang ke rumah tetangga yang memiliki putra dan putri seusia kami. Kami asyik dengan komunitas polisi-polisian, petak umpet, perang-perangan, kelereng, balap sepeda, hingga sepak bola di jalan kecil di depan rumah dengan gawang yang mistarnya transparan dibatasi oleh sandal-sandal kami atau bebatuan. Dinyatakan tidak gol jika bola melambung terlalu tinggi di atas penjaga gawang meskipun hanya selisih 10 cm dari ujung-ujung jari tangan.
Belum ada koneksi internet dan alat komunikasi canggih seperti sekarang, saat itu. Jadi saya tak perlu sibuk dan menjadi anti sosial hanya demi memikirkan status atau kicauan apa yang harus dimunculkan hari ini. Semuanya berjalan sederhana. Kami berkumpul, bermain, tertawa, kelelahan, lalu pulang ke rumah masing-masing. Hanya sesederhana itu.
Satu-satunya permainan agak modern yang disediakan ayah adalah Play Station 1 (PS1). Mungkin, perangkat ini bisa dikatakan sebagai kakek dari aneka game online yang menghipnotis kaum remaja dan dewasa sekarang. Permainan seperti Winning Eleven, Metal Slug, Tamiya, Tekken, Street Fighter, Captain Tsubasa, Super Mario Bros, Smack Down (dulu namanya Wrestlemania kalau tak salah ingat), Doraemon, dan sebagainya masih banyak lagi selalu menemani hari-hari kami. Saya ingat ketika mencurangi adik saya di saat main game tekken, hanya saya yang mengetahui tombol apa saja yang harus dikombinasikan supaya si Heihachi bisa mengeluarkan tendangan kilat khasnya.
Saya masih selalu mampu mengingat semuanya dengan sempurna. Juga merasakan tubuh kecil saya yang selalu menyambut hari Minggu dengan penuh sukacita dan gegap gempita.
***
Pagi ini, saya menikmati hari Minggu bersama secangkir kopi ginseng Jawa hangat dan tayangan kartun Doraemon dari sekotak televisi 15 inch, teronggok di sudut ruangan. Saya tersenyum dan menghela nafas ringan. Doraemon adalah serial kartun terakhir yang masih sempat kami nikmati bersama di setiap Minggu pagi, sebelum akhirnya kami tumbuh dewasa dan harus bergumul dengan kegiatan masing-masing. Saya tersenyum, karena harus rela kembali pada realita hari ini, masa kini.
Meski ada rasa miris melihat acara TV masa kini. Lebih banyak acara entertainment, infotainment dan sinetron yang tak mendidik. Ah, I don't know your feel, bocah-bocah Indonesia zaman sekarang. Entahlah, masa kecil kalian yang sekarang lebih bahagia dari masa kecil kami atau tidak kami tak tahu, zaman kita berbeda.
Hari Minggu saya tidak lagi sesederhana hari Minggu 12 tahun lalu, ketika saya belum mengenal rumitnya statistika dan matematika, proposal dan LPJ, merindu dan menunggu. Namun, saya selalu berhak memutar kembali ingatan ke masa itu. Saya selalu mampu menghibur diri dengan merasai kembali semua aroma yang ada di Minggu pagi, meletakkan jiwa saya disana, bermain-main kembali. Sebelum pada akhirnya besok balik ke Jakarta lagi, tak ada TV, menikmati hari Minggu yang biasa di kost ataupun keliling Jakarta.
Alhamdulillah, it's Sunday! Merdeka!
Bangil,
17 Agustus 2014