Rabu, 27 Agustus 2014

Jalanan di Kota Itu

Menyusuri tiap jalan di berbagai kota, yang pernah kita lewati. Saya tak tahu apa yang saya rasakan. Campuran antara bahagia mengingat peristiwa, tapi perih mengingat betapa sulitnya terulang lagi. Mungkin ini yang disebut kenangan; waktu, takdir, perih dan bahagia diaduk menjadi segumpal perasaan saja.

Menyusuri jalan yang belum kita lalui. Lalu menerka-nerka apakah sang waktu punya rencana menggariskan satu atau dua buah kenangan disana. Mereka-reka, kira-kira apa yang akan kita lakukan. Pastinya menancapkan adonan kenangan.

Entahlah

Minggu, 17 Agustus 2014

Pada Sepagi Minggu

Hari Minggu, bagi saya selalu istimewa dan mengantongi cita rasa berbeda.

Bukan, ini bukan karena semata saya telah cukup lama tidak menikmati atau turut berpartisipasi aktif dalam romantisme hari Sabtu seperti layaknya anak-anak muda lain. *ciee jomblo*

Begitulah Sabtu. Namun untuk saya, hari Minggu tetap jauh lebih unik dan memiliki tempat khusus di hati. Saya menyimpan banyak ingatan berharga disana. Ingatan yang hari ini kembali muncul ketika saya duduk di bangku kayu panjang pada ruang keluarga di rumah, menikmati kopi ginseng jawa ditemani sepiring pisang goreng hangat sembari tak sengaja menonton serial kartun pagi 


***
Tiba-tiba saya terlempar dan mendarat empuk di atas sebidang kasur kapuk, di kamar tengah yang jendelanya terhubung langsung dengan teras depan dengan semilir angin pagi yang sejuk. Saya sedang berada pada masa sekitar 12 tahun lalu. Pada sebuah Minggu pagi, dimana saya belum mengenal apapun, kecuali keluarga, belajar, dan bersenang-senang.

Hidung saya bahkan masih mampu membaui aromanya. Aroma tubuh sendiri yang belum akrab dengan minyak wangi yang biasa saya usapkan di sekujur pakaian. Saya mencoba mengurutkan kembali episode-episode Minggu yang rutin, namun tak pernah sekalipun kehilangan ruhnya.

Ketika itu, anak-anak serta para remaja tanggung sedang ramai menggilai kegiatan bersepeda, dan saya kebetulan termasuk didalamnya. Maka bersama beberapa kawan, saat langit masih malas menghadirkan matahari, saya selalu menguasai jalanan depan rumah, memacu sepeda bmx merah yang sedikit dimodifikasi agar berlari lebih cepat dari biasanya. Tidak ada siapapun di jalan sepanjang 30 meter itu, kecuali saya dan kawan-kawan bersepeda. Semakin mahir, semakin kencang saya meluncur. Balap sepeda pun jadi hal yang rutin dilakukan bersama kawan-kawan. Waktu itu, saya seolah sedang terbang dibelai udara pagi yang masih perawan, membiarkan benda-benda di samping kanan kiri saya hanya terlihat bagai lukisan abstrak, hanya tampak sebagai warna. Menyenangkan sekali. 

Bersama sepeda itu pula saya akhirnya mengalami luka, pertama kali, setelah balapan dengan kawan dan pada akhirnya ditabrak mobil dari arah berlawanan. Lutut kiri dan kedua telapak tangan menyapu aspal jalan, celana harus robek, darah menetes kemana-mana. Kami akhirnya harus pulang berjalan kaki, menuntun sepeda yang sudah tak lingkaran lagi roda depannya. Yang saya pikirkan saat itu bukan sakit karena lukanya, tapi sayang sekali saya seharusnya sudah jadi pemenang balap jika tidak bertemu mobil yang menabrak tadi. Tapi ya sudahlah, saya terima kekalahan dengan luka dalam. Begitulah masa kecil, separah-parahnya luka yang dialami tak terasa sakit sama sekali karena saking menyenangkannya.

Saya juga masih mengingat dengan baik, ketika Minggu meletakkan saya dan adik laki-laki saya satu-satunya, duduk bersila di ubin hitam, menikmati menu utama makan pagi: telur mata sapi, sayur kacang panjang, dan susu sapi hangat. Demikian, kami –saya dan adik- sengaja tidak duduk di kursi ruang makan, karena pada jam itu ada beberapa tontonan wajib yang akan membuat hari Minggu kami tidak sah jika kami tidak menontonnya dengan khusuk. Mereka adalah Doraemon, Shinchan, P-Man, Let's and Go (Tamiya), Hamtaro, Dr. Slump, Ksatria Baja Hitam, Gundam, Detective Conan, Saint Seiya, Dragon Ball, Ultraman, Pokemon, Digimon, Power Ranger, Yu-Gi-Oh, dan (apa lagi ya?), yah pokoknya itulah, serial yang apabila saya tonton kembali saat ini, mungkin terasa kurang penting dan garing. Saya agak lupa urutan tayangnya, namun seingat saya, semuanya adalah acara favorit kami berdua.

Dua belas tahun yang lalu, saya masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar dan baru dipercaya ibu untuk melakukan ritual makan sendiri. Maka jadilah makanan berceceran dimana-mana, pipi tertempeli nasi dan minyak, hanya karena saya belum mampu membagi konsentrasi antara menggerakkan tangan dengan mata tetap setia mengarah ke layar televisi. Apalagi ketika si Kotaro Minami sedang berubah wujud mengenakan kostum ksatrianya, lalu mengejar monster aneh penuh lendir hijau, menggunakan belalang tempur yang baru keluar dari garasi, entah garasi siapa. Si Kotaro, seperti jagoan lainnya, hampir pasti menang dan nasib si monster lendir selalu berakhir tragis. Tubuhnya meleleh dan berasap, jadi abu. Ah, seru. Jantung saya selalu ikut berdebar kencang. Sementara menu sarapan pagi yang bertugas untuk disantap seringkali lupa untuk ditandaskan.

Di sisi lain ketika menonton Power Ranger, ada satu hal yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan yang belu terjawab bagi saya. Cerita di serial Power Ranger itu mudah sekali ditebak, musuhnya selalu mengeluarkan monster dalam ukuran kecil lalu dikalahkan Power Ranger kemudian monsternya menjadi raksasa. Pertanyaannya, tiap episode pasti pihak monster itu kalah, tahu begitu kenapa musuhnya tidak mengeluarkan monsternya langsung ukuran raksasa saja ya? kan lumayan tuh, Power Rangernya nggak ada persiapan sehingga akan mudah dikalahkan nantinya.

Selain Power Ranger, ada yang lebih aneh lagi, film Ultraman. Kita pasti tidak asing dengan film yang satu ini, musuhnya yaitu monster raksasa yang datang dari planet lain di luar angkasa untuk menghancurkan bumi. Tapi, anehnya si monster ini sepertinya tidak mengerti geografi. Kenapa si monster jauh-jauh dari planet lain selalu turunnya di Jepang? kan di Jepang sudah ada Ultraman yang pasti bakal mengalahkan monster raksasa. Coba si monster turunnya di Amerika, kan ketemunya sama Power Ranger. Kan lumayan tuh, Power Rangernya nggak ada persiapan melawan monster raksasa sehingga akan mudah dikalahkan nantinya, hehe.

Satu lagi, tapi yang ini tidak pernah menimbulkan pertanyaan bagi saya. Setiap menonton serial Doraemon, saya kerap berkhayal berada di dunianya Nobita, dengan alat-alat ajaib yang menakjubkan, harapan anak-anak pada masa itu. Tapi sayang sekarang sudah muncul film terbaru yang katanya episode terakhir Doraemon - Stand By Me. Akan sulit rasanya melepas masa kecil yang bahagia itu tuk terakhir kalinya.

Minggu juga selalu menjadi hari paling indah, karena kami dilegalkan untuk tidak tidur siang. Kebijakan internal keluarga itu kami pergunakan untuk berkeliaran, saling bertandang ke rumah tetangga yang memiliki putra dan putri seusia kami. Kami asyik dengan komunitas polisi-polisian, petak umpet, perang-perangan, kelereng, balap sepeda, hingga sepak bola di jalan kecil di depan rumah dengan gawang yang mistarnya transparan dibatasi oleh sandal-sandal kami atau bebatuan. Dinyatakan tidak gol jika bola melambung terlalu tinggi di atas penjaga gawang meskipun hanya selisih 10 cm dari ujung-ujung jari tangan. 

Belum ada koneksi internet dan alat komunikasi canggih seperti sekarang, saat itu. Jadi saya tak perlu sibuk dan menjadi anti sosial hanya demi memikirkan status atau kicauan apa yang harus dimunculkan hari ini. Semuanya berjalan sederhana. Kami berkumpul, bermain, tertawa, kelelahan, lalu pulang ke rumah masing-masing. Hanya sesederhana itu.

Satu-satunya permainan agak modern yang disediakan ayah adalah Play Station 1 (PS1). Mungkin, perangkat ini bisa dikatakan sebagai kakek dari aneka game online yang menghipnotis kaum remaja dan dewasa sekarang. Permainan seperti Winning Eleven, Metal Slug, Tamiya, Tekken, Street Fighter, Captain Tsubasa, Super Mario Bros, Smack Down (dulu namanya Wrestlemania kalau tak salah ingat), Doraemon, dan sebagainya masih banyak lagi selalu menemani hari-hari kami. Saya ingat ketika mencurangi adik saya di saat main game tekken, hanya saya yang mengetahui tombol apa saja yang harus dikombinasikan supaya si Heihachi bisa mengeluarkan tendangan kilat khasnya.

Saya masih selalu mampu mengingat semuanya dengan sempurna. Juga merasakan tubuh kecil saya yang selalu menyambut hari Minggu dengan penuh sukacita dan gegap gempita.
***
Pagi ini, saya menikmati hari Minggu bersama secangkir kopi ginseng Jawa hangat dan tayangan kartun Doraemon dari sekotak televisi 15 inch, teronggok di sudut ruangan. Saya tersenyum dan menghela nafas ringan. Doraemon adalah serial kartun terakhir yang masih sempat kami nikmati bersama di setiap Minggu pagi, sebelum akhirnya kami tumbuh dewasa dan harus bergumul dengan kegiatan masing-masing. Saya tersenyum, karena harus rela kembali pada realita hari ini, masa kini.

Meski ada rasa miris melihat acara TV masa kini. Lebih banyak acara entertainment, infotainment dan sinetron yang tak mendidik. Ah, I don't know your feel, bocah-bocah Indonesia zaman sekarang. Entahlah, masa kecil kalian yang sekarang lebih bahagia dari masa kecil kami atau tidak kami tak tahu, zaman kita berbeda.

Hari Minggu saya tidak lagi sesederhana hari Minggu 12 tahun lalu, ketika saya belum mengenal rumitnya statistika dan matematika, proposal dan LPJ, merindu dan menunggu. Namun, saya selalu berhak memutar kembali ingatan ke masa itu. Saya selalu mampu menghibur diri dengan merasai kembali semua aroma yang ada di Minggu pagi, meletakkan jiwa saya disana, bermain-main kembali. Sebelum pada akhirnya besok balik ke Jakarta lagi, tak ada TV, menikmati hari Minggu yang biasa di kost ataupun keliling Jakarta.

Alhamdulillah, it's Sunday! Merdeka!

Bangil, 
17 Agustus 2014

Senin, 11 Agustus 2014

Sekali Lagi


Sekali lagi kaki ini memijak ke bumi dengan permulaan yang tidak saya duga. Ini salah satu yang saya cita-citakan. Memberikan yang terbaik. Mempersembahkan yang teraduhai. Untuk mereka yang saya cintai. Saya seorang lelaki. Saya bisa. Dan inilah saatnya untuk bicara melalui gerak ritmis dinamik momentum. Pengupayaan kebaikan, menuangkan bahagia setara dengan senyum terlucu menjelang pagi hari.

Dalam perjalanan berikhtiar. Memberikan banyak waktu untuk diriku, berpikir dan tercenung. Setiap bongkahan kegagalan pembangunan dan tiap kilometernya memberikan ruang sepersekian detik untuk otak dan hati berkolaborasi, introspeksi. Apakah pantas ini yang saya retas? Entah, bertanya adalah hakiki manusia. Menjawab itu bisa milik Penguasa.

Bangil, 11 Agustus 2014
di bawah temaram cahaya bulan purnama

Sabtu, 02 Agustus 2014

Jeda: Ekspedisi 3 Pesona Jawa Timur

Aku berlari bebas mengejar mentari
Berputar-putar tak jelas
Aku biarkan kaki ini mengejar matahari
Ke pantai
Ke gurun atau
Ke gunung

Tak peduli aku berlari sampai mana dan sampai kapan
Tak ada yang mengikatku
Tak ada yang menungguku

Hanya aku, alam dan Tuhan
Dalam sebuah jeda waktu

Jeda dalam pengertian bahasa Indonesia adalah waktu istirahat, waktu berhenti sebentar, hentian sentar dalam ujaran. Saya mengambil sebuah jeda dalam hidup ini. Sejenak saja. Mengistirahatkan pikiran, mengistirahatkan tubuh, mengistirahatkan hati.

Jeda bagiku adalah hadiah. Hadiah dari sebuah keberanian melepaskan sebuah kepenatan. Jeda itu sendiri memiliki arti sendiri bagi setiap individu. Menurut saya setiap orang membutuhkan jeda dari segala aktivitasnya. Anak sekolah butuh jeda yaitu waktu istirahat pada jam 9 pagi dan jam 12 siang bilamana mereka bersekolah hingga pukul 2 siang. Para karyawan juga mendapatkan jeda dari pekerjaannya yaitu jam 12 siang, 1 jam dari 8 jam kerja yang mengikat mereka demi pundi-pundi uang setiap bulan. Ibu rumah tangga pun membutuhkan jeda dari kesibukannya mengurus rumah, anak dan keuangan rumah

Jeda milik saya sendiri adalah jeda dari suatu rutinitas, melupakan sejenak rutinitas kuliah. Jeda yang biasa disebut dengan “me time”. Jeda dari bangun pagi terpogoh-pogoh, berburu dengan kemacetan atau padatya jalanan Ibukota.

Saya mengambil sebuah jeda untuk berhenti sebentar dari segala aktivitas rutin. Jeda yang diambil dengan sedikit keberanian. Menikmati hari libur lebaran dengan menyatu bersama alam. Jeda yang satu ini bisa saya namakan "Ekspedisi 3 Pesona Jawa Timur"


Dalam waktu jeda ini kupasrahkan langkahku menuju 3 destinasi wisata alam yang sungguh memikat hati, entah apa alasan saya memilih 3 tempat itu, entah mengapa saya harus melangkahkan kaki saya ke 3 tempat tersebut. Mulai dari Pantai Tanjung Papuma di Jember, Teluk Hijau di Banyuwangi, dan Gunung Bromo di Probolinggo. Entahlah, apapun itu mereka tetap mampu memikat hati saya.


Pantai Tanjung Papuma, Jember

Pantai Papuma tidak bedanya “surga” bagi kalangan wisatawan. Selain menyajikan berbagai panorama menenangkan, suatu negeri kecil yang menjorok ke laut di pantai selatan Jawa Timur juga menyimpan berbagai flora dan fauna tropis khas. Siapapun yang telah mengunjungi pantai landai berpasir putih tidak pernah bosan untuk menikmatinya. kondisi geografis yang stabil, bahkan membuat daerah wisata ini bisa dinikmati dalam cuaca apapun, baik di musim kemarau dan selama musim penghujan tiba.

Hutan dan kawasan wisata pantai yang memiliki luas wilayah 50 hektar terletak di Kecamatan Ambulu dan Wuluhan, Kabupaten Jember. Pantai Papuma sendiri merupakan singkatan nama sebagai terbentuk dari Pasir Putih Malikan. Kata “tanjung” ditambahkan di depannya, untuk menggambarkan posisi pantai yang menjorok ke laut barat daya daerah. Selain pantai, hutan terletak di sisi lain juga jadi ini daya tarik wisata.

Ketika Tanjung Papuma dalam kondisi gelombang yang cukup tenang. Permukaan laut kelihatan hijau kebiru-biruan selalu mengundang setiap pengunjung untuk berenang atau hanya menyentuh kaki riak gelombang rolling ke pantai. Selama waktu itu, setiap wisatawan tergoda untuk melayarinya. Lebih dari itu, pasir putih yang sangat halus dan tidak pernah meninggalkan rasa gatal di kulit juga dapat menjadi magnet bagi wisatawan untuk menyukai Tanjung Papuma.

Memang, hati kita akan lebih puas menikmati Pantai Tanjung Papuma, ketika kita berlayar teluk dengan perahu nelayan. Terutama, ketika ombak yang ramah, kita juga dapat mendekati beberapa atol (pulau karang), yang terletak sekitar dua mil dari pantai ke tengah teluk. Dari kejauhan pulau-pulau tanpa penghuni tampak seperti kodok raksasa. Tapi ketika kita mendekati, ia adalah sebuah pulau ciptaan yang menakjubkan.

Keindahan panorama atol-atol di sekitar Pantai Papuma akan lebih indah bila dilihat dari Sitihinggil, sebuah menara di atas bukit di ujung barat Tanjung Papuma. Menara ini sengaja dibuat oleh Perhutani sebagai tempat untuk wisatawan melihat panorama seluruh Pantai Papuma, serta sebagai pos pemantauan keamanan dan hewan-hewan yang ada di wilayah tersebut. Dari sana semua pengunjung dapat menikmati pemandangan sekelompok pulau karang kecil. Pulau karang itu, semuanya memiliki sebutan sendiri. Setiap judul menggunakan nama-nama dewa dalam dunia wayang: Guru, Kresna, dan Narada. (sumber)

Teluk Hijau, Banyuwangi

Teluk hijau, begitu kita mendengar seseorang mengucapkan kata ini akan langsung terbayang oleh kita, kenapa dikatakan berwarna hijau, bukankah kebanyakan laut berwarna biru. Berlokasi di Kabupaten Banyuwangi bagian Selatan, tepatnya di Kecamatan Pesanggaran di antara Pantai Rajagwesi dan Pantai Sukamade, anda akan menemukan keindahan pantai yang benar-benar natural, Teluk Hijau (Green Bay). Di sinilah kita akan melihat eksotisme tersendiri dari wisata ini. Disebut Teluk Hijau karena memang kita akan dimanjakan dengan teluk yang memang akan tampak berwarna kehijauan, dengan pasir putih nan alami dan air terjun setinggi 8 meter.

Teluk Ijo, demikian penduduk sekitar menyebut teluk ini memiliki semua keindahan alami yang menenangkan yang selama ini kita cari. Dikelilingi hutan alami yang asri, kicauan burung yang bernyanyi berpadu dengan hembusan angin dan suara ombak diantara bebatuan seakan seperti orchestra alam tersendiri yang akan menenangkan jiwa dan pikiran kita, dari penatnya rutinitas sehari-hari.

Jika kita ingin menuju Teluk Hijau, kita cukup mengikuti penunjuk jalan menuju Sukamade atau Rajagwesi. Letak Teluk Hijau tak terlalu jauh dari pemukiman penduduk yang paling akhir di daerah Rajegwesi, jadi jika kita membawa kendaraan pribadi lebih kendaraan tersebut kita titipkan ke penduduk. Lalu, perjalanan kita lanjutkan dengan berjalan kaki. Namun, jika anda ingin lewat jalur laut, maka dari tempat pintu masuk Teluk Hijau Anda hanya perlu menyewa perahu dari pantai Rajagwesi langsung menuju Teluk Hijau dengan biaya sekitar 300.000,- (sumber)


Gunung Bromo, Probolinggo

Gunung Bromo di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki keunikan dengan pasir laut seluas 5.250 hektar di ketinggian 2392 m dpl. Anda dapat berkuda dan mendaki Gunung Bromo melalui tangga dan melihat Matahari terbit. Lihatlah bagaimana pesona Matahari yang menawan saat terbit dan terbenamnya akan menjadi pengalaman pribadi yang mendalam saat Anda melihatnya secara langsung.
  
Gunung Bromo berasal dari kata Brahma (salah seorang Dewa agama Hindu). Bromo merupakan gunung api yang masih aktif dan terkenal sebagai icon wisata Jawa Timur. Gunung ini tidak sebesar gunung api lainnya di Indonesia tetapi memiliki pemandangannya yang spektakuler dan dramatis. Keindahannya yang luar biasa membuat wisatawan yang mengunjunginya akan berdecak kagum.
  
Dari puncak Gunung Penanjakan di ketinggian 2.770 m, wisatawan dari seluruh dunia datang untuk melihat sunrise Gunung Bromo. Pemandangannya sungguh menakjubkan dan yang akan Anda dengar hanya suara jepretan kamera wisatawan saat menangkap momen yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Saat sunrise sangat luar biasa dimana Anda akan melihat latar depan Gunung Semeru yang mengeluarkan asap dari kejauhan dan matahari bersinar terang naik ke langit. Namun sayang sekali saya tidak sempat menangkap momen-momen tersebut, mungkin bukan hanya saya saja, tapi juga beberapa pengunjung lainnya karena kondisi langit saat itu mendung dan berkabut sehingga momen sunrise yang sudah dinantikan terpaksa dilewatkan.
  
Setelahnya kita bisa menikmati hamparan lautan pasir luas, menyaksikan kemegahan Gunung Semeru yang menjulang menggapai langit, serta menatap indahnya Matahari beranjak keluar dari peraduannya atau sebaliknya menikmati temaram senja dari punggung bukit Bromo adalah pengalaman yang takkan terlupakan saat menyambangi Bromo. (sumber dengan beberapa perubahan)

bersama mas Eko, guide gunung Bromo

"Semuanya akan terasa indah, apabila kita jalani dengan ikhlas. Sebab, pekerjaan paling susah bagi manusia adalah mensyukuri segala nikmat Tuhan. Bukan soal nilai rupiah, lebih dari itu bagi saya. Ini soal hakikat. Melalui perjalanan ini, saya ingin belajar pada alam. Karena alam yang natural, yang selalu memberikan petikan nilai-nilai tentang kehidupan.

Karena setiap langkah adalah karya, karena setiap nafas adalah makna. dan di setiap pikiran selalu ada wacana. Karena alam ciptaan-Nya ini sungguh indah, seindah-indahnya gradasi warna dalam batas cakrawala" - Anonymous