Minggu, 25 Mei 2014

Liburan: Inyong Ana Ning Tegal


Kadang, sebagai manusia, kita ingin waktu dapat melambat. Sedikit saja. Ya, setidaknya, itu terjadi pada kami. Kesibukan saya dan teman-teman kelas saya di Sekolah Tinggi ini, kelas 2F, serta keriuhan Ibu Kota dan sesi-sesi kuliah yang berbaris rapi dari hari ke hari, sukses melahap habis waktu luang kami sebagai seorang anak manusia. Hingga di tengah hiruk-pikuk kami setiap hari, saya sering berdoa, semoga suatu saat ada hari dimana waktu sudi melambatkan diri. 

Dua puluh tiga Mei kemarin, doa saya terkabul sudah. Saya dan 14 orang lainnya, teman-teman dari 2F berkesempatan untuk menikmati sedikit saja waktu luang untuk berkunjung ke Tegal dalam rangka memenuhi undangan pernikahan dosen PA (Pembimbing Akademik) kami, Ibu Winih Budiarti dan lebih khususnya untuk refreshing, sebentar memang, hanya 2 hari, namun setidaknya itu adalah 2 hari yang sangat berharga dan sayang sekali jika tidak dinikmati.

Dan disinilah kami, akhir pekan lalu; Tegal, kota yang sederhana, namun masih ramai meski matahari telah terbenam. Udara dingin dan bersih, kecantikan, dan tradisionalitas masyarakatnya membantu mengurai benang kusut di otak kami. Tegal, membelai jiwa kami yang kelelahan, mengajari kami untuk kembali bersyukur, sekalipun terhadap hal paling sederhana.

suguhan dari mbah, di tempat kami menginap. 
sederhana, namun sungguh nikmat

Apalagi cerita metamorfosa ibu dosen kami yang telah menunaikan separuh agamanya, berharap beberapa tahun mendatang saya bisa melaksanakannya bersama sang pujaan hati (entah siapa, hanya Allah yang tahu, #eaaa). Mereka hadirkan cerita metamorfosa, titik balik proses pencarian, kebahagiaan menemukan, dan keharuan pencapaian, dalam indahnya ikatan yang sah. Semoga mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Aamiin

Saya sempat tersenyum dalam hati, karena di kota ini, waktu sedang murah. Setelah menghadiri acara akad dan resepsi pernikahan Ibu Winih, kami habiskan sisa waktu di sore hari dengan menikmati Pantai Alam Indah, memandangi lautan dan langit senja yang seksi. Entahlah, kalau saja saya ini truk pengangkut pasir, di sini saya merasa tangki bahan bakar saya terisi penuh. 

view laut lepas di Pantai Alam Indah

view mancing di tengah laut

view langit senja Pantai Alam Indah

Ada banyak gambar yang saya ambil melalui kamera digital saya. Beberapa diantaranya saya sertakan disini sebagai informasi visual bagi kawan-kawan yang gemar melakukan perjalanan liburan. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama 6 jam dengan kereta dari Jakarta menuju Stasiun Tegal, pulang pergi hanya menghabiskan 72 ribu rupiah untuk tiket kereta. Makanan di Tegal juga tergolong cukup murah namun rasa nggak murahan, nasi ayam, tempe dan lalapan hanya 8000an, oh iya disini nggak ada yang namanya 'Warteg', adanya cukup 'Warung Makan', hehe. Untuk penginapan saya kurang tahu karena kemarin kami numpang di rumah orang :D

Jadi, selamat merencanakan liburan ke Tegal. Semoga para jiwa yang lelah dapat 'mandi' kemudian kembali cerah :)

NB: Jika tata bahasa judulnya keliru mohon dimaafkan ya, saya bukan orang Tegal jadi tidak mahir berbahasa Jawa yang ngapak, hehe

Minggu, 18 Mei 2014

Belajar Tidak Menilai

Sudah sejak lama saya belajar untuk tidak membuat penilaian terhadap orang lain. Hasil penilaian bernilai valid hanya kalau pengetahuan dan pengenalan kita terhadap objek yang dinilai setidaknya ya 70-80 lah. Kurang dari itu pastilah nggak sip-sip amat, untuk tidak mengatakan tidak valid.

Kepada seorang yang disangka maling, saya pun tidak cukup berani untuk mengatakan ia maling. Benarkah saya telah mengenalnya selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, 12 bulan setahun dan berlangsung bertahun-tahun. Benar belaka pada saat dan tempat tertentu, ketika ia sedang 'melakukan' maling, ia adalah maling. Tapi selebihnya? Dia adalah suami dari istrinya, bapak dari anaknya, paklik dari ponaknannya bahkan mungkin eyang dari cucu-cucunya. Berapa jam berapa hari ia 'berpredikat' maling? Berapa lama ia menjadi suami, menjadi bapak, menjadi paklik dan menjadi eyang? Kalau hanya di sepenggal waktu sangat pendek, dari sangat panjang waktu yang lintasi, ia menjadi maling, kemudian saya menilainya sebagai maling, betapa tidak proporsionalnya saya. Belum lagi dengan ketidak-tahuan saya akan jawaban kenapa ia melakukan maling saat itu? dalam domain sosial seperti apa ia hidup dalam komunitasnya? di tata moral keluarga yang seperti apa ia dulu dibesarkan? Dan seterusnya...

Berapa kali kita terkaget-kaget oleh ketak-terdugaan berita di koran dan telivisi. Tokoh A yang kita kenal sangat baik tersandung masalah suap. Tokoh B yang sangat lembut tutur sapanya tersandung sandal sekretarisnya. Sebaliknya, preman pasar kelas kakap C tempo dulu yang lantas menjadi juru dakwah. Tokoh dunia hitam belum lama berselang yang sekarang menjadi tokoh putih. Betapa tak terbilangnya arah perjalanan yang dilakoni manusia. Apa karena ia bernama manusia maka tidak linear jalan hidupnya. Tidak seperti berhitung, setelah satu, dua, tiga, pastilah empat. Setelah pagi, siang, sore, pastilah malam.

Bahkan kepada diri sendiri, yang saya mengikutinya dari detik ke detik, saya kewalahan membuat penilaian apa dan bagaimana warna diri ini. Setelah belajar dan memahami ini itu harusnya berwarna hijau, eh.... lha kok dibanyak kali menjadi agak merah bahkan sangat merah. Di kali lain malah hitam legam seperti bukan dirinya.

Selalu saja ada ketakterdugaan. Sahabat ini seumur-umur membangkang pada bapaknya. Kalau bapaknya bilang ke utara, ia pasti ke selatan. Kalau bapaknya bilang naik, kepastian baginya adalah turun. Kalau bapaknya bilang bekerjalah, ia pasti tidur tiga hari tiga malam. Kalau bapaknya bilang tidur, ia ambil layang2 dan bermain dari pagi sampai pagi tiga hari berikutnya. Alkisah, sahabat ini berjalan di perbukitan nan rimbun, jurang menganga di sana sini yang disamarkan oleh pohon-pohon yang meraksasa. Ia berjalan penuh keriangan, karena memang tidak tahu dua puluh meter di depannya ada jurang mematikan. Bapaknya tahu keadaan itu, sekaligus mengenali watak anaknya. Kalau ia bilang berhenti, si anak pasti akan berlari menyongsong kematiannya di dasar jurang. Maka, sang bapak memilih berteriak terus anakku, berjalanlah lebih cepat. Dan, ketak-terdugaan itu muncul bersamaan dengan pilihan si sahabat ini. Ah, seumur-umur saya selalu melawan arus dengan apa yang dikatakan bapak. Kali ini, biarlah aku mengikuti apa yang beliau katakan..

Jumat, 16 Mei 2014

Melawan Sepi

Hari Kamis kemarin dua orang kawan tiba-tiba dateng ke tempatku, nggak enaknya mereka dateng pas saya lagi makan mie ayam, kesannya lagi susah banget saya, belum tanggal tua udah makan mie aja, hehe. Mereka adalah Rizky dan Firza, Rizky ini sahabat kecil saya dari TK hingga sekarang, dari TK, SD, SMP, SMA kami selalu satu sekolah, sedangkan Firza sahabat dari SMA, namun keberadaannya seperti sudah lama sekali. Kebetulan kamar sebelahku juga ada kawan lama, sahabat sedari SD hingga kuliah di STIS, Aam namanya, yang ini lebih ekstrem lagi, dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai kost pun sama. Bahkan kami berempat pun berada dalam satu klub futsal yang sama, Futsal van Java

Kawan lama yang datang ini keduanya dari PTK tetangga, STAN, kesibukan masing2 ngebuat kita gak bisa keep in touch sesering dulu ketika SMA, tapi gimana2 mereka adalah dua orang kawan yang gak ada duanya. Unik, gak bisa disamain dengan siapapun, dan dalam banyak hal kita seperti kancing baju dengan lubangnya, saling ngelengkapin, ngerasa ada dalam satu jalan pikiran (weisss, tenang..., saya masih normal!).

Lama gak ketemu mereka masih aja kayak dulu. Pria-pria sederhana, bener2 apa adanya, yang menurutku hampir semua seragam, dan masih sama2 jomblo. Itu semua yang kadang ngebuat kita tetep bisa 'nyambung' dalam setiap obrolan, karena mereka dan kami, kurang lebih sama. Kocak, mblendes, koplak, kesan yang ada waktu itu. Kita ngobrol kesana kemari, sesekali nonton anime, eh nggak sekali, berkali-kali sih. Bertukar cerita dan pengalaman masing-masing ketika berada di perguruan tinggi kedinasannya masing-masing. Mereka dari STAN dan kami dari STIS. Banyak sekali hal-hal konyol ala kami yang sudah lama tidak saya dengarkan akhirnya bisa kami nikmati kembali bersama-sama. Ahh, indahnya masa muda.. 

Tak cukup hanya bincang-bincang kesana kemari, kami pun tak mau melewatkan waktu yang langka ini bersama-sama hanya untuk berceloteh saja. Sore hari, kami meluncur menuju Monas ditemani rintik air yang jatuh dari gumpalan awan hitam di langit. Lantas mengapa kami memilih Monas? ya, karena dari kami berempat, Firza belum pernah kesana sama sekali. Sampai di sana kegiatannya sudah jelas, foto-foto. Cuma, ini adalah foto-foto yang paling repot menurut saya. Niat foto bareng dengan syarat monasnya harus kena foto secara utuh, karena nggak ada yang motretin dan nggak ada yang mau dipotret sama orang lain, akhirnya kami mencari ide agar bisa dipotret secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Dari situlah kami menemukan inovasi baru, ransel pod, potret pake timer di atas ransel -.-

Dari kiri ke kanan: Firza, Saya, Aam, Rizky
(Arek mBangil nang Monas)

Menjelang maghrib kami singgah sebentar untuk menjalankan sholat Maghrib dan Isya' di Masjid Istiqlal. Dan akhirnya, perjalanan kami ditutup dengan troll dari penjual ketoprak, ini adalah kali pertama kami makan ketoprak tanpa tahu, hanya isi lontong, kerupuk, dan tauge dengan siraman bumbu kacang. Mungkin kami salah pesan, bukan pesan Ketoprak, tapi pesan Ludruk. Yah, setidaknya di sela-sela libur pasca UTS, di saat teman-teman yang lain pulang kampung untuk bertemu keluarga dan sahabat-sahabat mereka di kampung mereka. Saya masih bisa merasakan aroma kampung halaman bersama kawan-kawan sekampung dan seperjuangan..

Rantau: Barisan Kisah Perjuangan Mengais Sepenggal Asa di Tanah Orang


Ada kenikmatan tersendiri ketika saya menggerakkan jari jemari saya menari dengan mouse dan keyboard membentuk garis dan titik-titik menghubungkannya satu sama lain, memadukan warna dan sedikit efek grafis menjadi suatu bentuk sederhana namun mengandung rasa. Ya, lebih nikmat daripada jari-jemari saya menari di atas keyboard mengolaborasikan huruf demi huruf membangun sebuah kata, menjadi kalimat, menjadi paragraf, menjadi sebuah kisah, bagi saya itu lebih membosankan namun lebih memberi makna daripada hanya sebuah gambar yang bias makna. Sama seperti yang saya lakukan sekarang, nulis di blog..

Gambar di atas adalah hasil iseng-iseng saya, biar tulisan yang ada di blog ini keliatan keren gitu, kayak novel-novel yang ada di toko-toko buku, padahal mau nyari buku yang kayak gitu dimana aja ga bakal nemu, yakin deh, muehehe. Mengambil kisah perantauan saya di Ibukota, ide gedung-gedung pencakar langit dan langit senja menjadi insiprasi saya. Kenapa harus langit senja? ya... suka-suka saya sih, wong saya yang bikin juga, hehe. Dua logo yang mengapit nama saya di cover di atas adalah logo R-Square yang merupakan identitas desain saya dan CCDJ (Casing Cina Daleman Jawa) yang merupakan logo dari blog ini. Jadi jelas, bahwa 2 logo itu bukan logo penerbit, karena memang itu bukan cover buku. Saya bukan penulis wannabe, tapi kalo dibilang graphic designer wannabe baru boleh, sejatinya saya hanya seorang anak manusia sederhana yang kebetulan mengenal dunia internet dan tiba-tiba jadi blogger amatir sejak tahun 2009 silam (hanya saja blog-blog saya selama 5 tahun terakhir ini terbengkalai dan akhirnya mati). Saya hanya ingin sedikit berbagi cerita saja, menginspirasi orang lain, itupun jika celotehan saya memang menginspirasi. Maka dari itu, cukup dimaknai saja celotehan-celotehan saya disini, kalo tidak bermakna setidaknya saya sendiri yang bisa memaknainya.

Tak kenal maka kenalan, begitulah bunyi pepatah klasik yang udah dipatah-patahin kata-katanya.. Jadi, bagi yang belum kenal saya coba cek postingan pertama di blog ini aja, hehe. Saya adalah putra pertama dari 2 bersaudara dari keluarga sederhana nan bahagia dan sejahtera. Ibu saya berasal dari Lampung-Sumatera berdarah Jawa (Kakek dari Yogyakarta, Nenek dari asli Lampung), Ayah saya dari Tarakan-Kalimantan berdarah Cina dan Jepang (tapi yang Jepang ini dari buyutnya buyut sih), sedangkan saya sendiri lahir di sebuah kota kecil yang penduduknya sejahtera di Kab. Pasuruan, Jawa Timur, kota Bangil namanya, kota Bordir julukannya. Complicated banget ya darah saya, ada suku Jawanya, ada Sumateranya, ada Kalimantannya, ada Cinanya, ada Jepangnya, ada Arabnya jg (jauh dar nabi Adam). Jadi berasa dunia ada dalam diri saya aja, hehe.. 

Pada 2014 ini usia saya genap 20 tahun, selama 17 tahun saya menghabiskan waktu saya di kota Bangil, menjalani hidup sebagai bagian dari sebuah keluarga dan anak sekolahan, seorang anak rumahan yang jarang keluar rumah, menjadikan komputer dan dunia maya sebagai teman bermain, namun bukan berarti saya tidak memiliki sahabat manusia, di samping saya sahabat karib saya ada yg dari TK, SD, SMP, hingga SMA bahkan kuliah masih ada hingga sekarang bahkan level sahabat pun lewat, mereka sudah saya anggap saudara sendiri. Sempat juga 3 bulan saya tinggal di Surabaya, dengan beberapa sahabat saya, berjuang untuk yang katanya demi masa depan cerah, ya, berjuang untuk SNMPTN, dan alhamdulillah sempat di terima di Teknik Kimia ITS, namun saya lepas begitu saja karena lebih memilih perguruan tinggi yang saya jalani sekarang di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Setelah hidup 17 tahun di Bangil, kampung halaman tercinta, sekarang saya hidup di Ibukota, di Jakarta Timur lebih tepatnya. Untuk melanjutkan studi saya di Perguruan Tinggi Kedinasan, di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, sekarang sudah tahun kedua saya berada di sini. 

Mengapa saya harus kuliah jauh-jauh ke Jakarta? padahal di Jawa Timur, di Surabaya, Malang, Jember, dan sebagaiknya masih banyak perguruan tinggi yang berkualitas yang tak kalah dengan yang ada di Ibukota, bahkan saya harus menolak Jurusan Teknik Kimia ITS hanya untuk kuliah di sini. Yang pertama, karena saya mengutamakan diri saya kuliah di perguruan tinggi kedinasan, alasannya karena gratis, saya nggk ingin selalu merepotkan orang tua saya dalam masalah biaya, dan memang saya ingin merasakan bagaimana sih birokrasi di Indonesia, kenapa sih negara saya ini dari dulu banyak masalah, yang saya pikirkan pada waktu saya memilih STIS ini adalah mungkin jika saya sudah masuk dalam pemerintahan di Indonesia saya bisa mengetahui bagaimana masalah-masalah yang ada di Indonesia dan bagaimana solusinya. Tapi setelah tahu beberapa kenyataan yang ada ternyata tidak semudah seperti yang saya pikirkan. Kedua, karena saya bosan hidup di Jawa Timur, saya ingin merasakan suasana yang baru yang lebih menantang, merasakan bagaimana arti hidup yang sesungguhnya. Ya, itulah apa yang saya pikirkan semasa SMA, berpikir praktis dan simpel. Tapi sejatinya apa yang saya pikirkan tidak selalu sesuai dengan apa yang terjadi di kenyataannya. Hidup di kota Jakarta lebih membosankan, bukan karena saya tak kuat dengan kerasnya kondisi Ibukota, tapi hidup di Ibukota serasa monoton, hanya bolak-balik kampus-kost-warteg, kampus-kost-warteg. Ingin jalan-jalan keliling Jakarta pun tempatnya ya hanya itu-itu saja, gedung pencakar langit, aspal yang panas, dan kerangka besi yang dipenuhi puluhan manusia yang berdesak-desakan. Simpelnya sumpek. 

Yah, itu mungkin hanya sepersekian dari sepersekian bagian kehidupan di Ibukota, orang bilang hidup di Jakarta enak, harta berlimpah, status sosial meningkat, kamu bisa lebih dihargai.. ya bisa DIHARGAI.. namun apakah dengan hidup di Jakarta kita bisa lebih DIMAKNAI? yah yang pasti hidup di Jakarta lebih dari itu, tak hanya di Jakarta, dimanapun juga kau tinggal.. memang Jakarta itu apa? kota surga? tertipu kau jika bilang Jakarta kota surga.. Jakarta didewa-dewakan hanya karena ia Ibukota! masih banyak kota yang lebih layak dikatakan sebagai kota surga.. Yah, intinya dimanapun kau berada, niat dan perjuangan adalah modal utama, pengalaman dan pelajaran hidup adalah hasil yang lebih bermakna bagi saya.

Kamis, 15 Mei 2014

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau semuanya.

Perkenalkan, nama saya Ryan Willmanda Januardi, akrab disapa dengan nama Ryan, Ijan, atau Koh. Beberapa kawan juga kadang memanggil saya dengan nama kun'yah saya Abu Harits atau bahkan ada yang memanggil dengan nama Cina saya, Xian, lengkapnya Go Xu-Xian (marga Go). Saya seorang putra yang lahir di tanah Jawa, tepatnya di Bangil, Jawa Timur dari pasangan berdarah Jawa-Lampung dan Tiong Hoa-Jepang-Kalimantan. Simpelnya "Casing Cina, Daleman Jawa"

Sudah lama sejak blog terakhir saya yang beralamatkan www.sharestistic.net saya hapus karena ada beberapa masalah terkait domain (lupa password, lupa username, lupa bayar) dan lain-lain, akhirnya sekarang blogging lagi. Setelah sekian banyak blog yang saya buat dan saya telantarkan begitu saja, saya mencoba membuat blog baru yang sudah saya pastikan blog ini akan dilestarikan dan tidak berakhir mengenaskan. Isi blognya mungkin bakal absurd dan nggak jelas. Tetapi, bagaimanapun keadaan blog ini yang saya harapkan dari blog ini adalah semoga blog ini ada manfaatnya aja, meskipun saya sebenernya juga ragu ini blog bakal ada manfaatnya apa nggak, semoga aja blog yang ini nggak berakhir mengenaskan seperti mantan-mantan (blog) saya yang lain.


Ryan W. Januardi