Jumat, 26 September 2014

Tekad Tanpa Alat


Kemajuan teknologi selayaknya menjadikan kita lebih giat belajar agama. Dibandingkan para ulama salaf dulu, sebenarnya sarana dan prasarana kita jauh lebih mendukung untuk menuntut ilmu agama. Akan tetapi, benarlah kata pepatah Arab, tekad lebih bermakna daripada alat. Di tengah keterbatasan, para ulama bisa menuntut ilmu, meniti ratusan kilo demi mendapatkan ilmu. Mereka menulis ratusan kitab dengan pena mereka, bukan dengan mesin tik, komputer, laptop ataupun tablet. Bahkan Syaikh Abdurrahman Nasir As Sa’di rahimahullah menulis tafsirnya yang terkenal (Al Aisar) dengan menggunakan pena. Suatu hal yang mustahil dicapai tanpa motivasi intern dan tekad yang kuat.

Adalah Muhammad bin Idris rahimahullah (yang lebih terkenal dengan Imam Syafi’i) mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia tujuh tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik pada usia dua belas tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Dua belas tahun, sungguh usia yang masih amat belia. Bagaimana dengan kita? 

Gelas Plastik

gambar di atas hanya ilustrasi

Tak putus mesin paru-parumu menjaring oksigen di antara tumpukan tiang-tiang beton beralas aspal panas. Dan melepasnya dengan segumpal peluh di lengan, leher, kepala. Sekilo dua kilometer itu luar biasa, yang biasa adalah karung kosong tak terisi sampah.

Gigi depan rahang atasmu telah punah oleh bogem mentah. Untung yang bawah masih rapi berjajar. Lumayan untuk olah raga pagi menggiling pisang goreng dan secangkir teh tawar.

Kulitmu mengkisut. Tak lagi mencengkram kuat daging-dagingnya. Selang-selang otot saling bertaut dibawahnya. Dengan aliran darah menggemukkan selang-selang itu. 

Memproses dengan gerak mencoba mencekik nasib yang terlalu banyak menelan waktu.

Terlalu lanjut untuk dirimu menghidupi hidupmu yang kurang dari sejengkal saja liang kubur. Daging beradu dengan aspal. Tangan menghantam hamburan sampah. Mengoyak mencari sisa dan menyelipkan doa 

"semoga hari ini 4 kilo aku bawa"

Peluh menjadi juruh. Air liur menjadi mineral pertama menghanyutkan dahaga. Lalu kenapa kamu masih bisa tersenyum wahai orang susah?

Karena "ini jatah saya sebagai pelengkap yang sudah ada..." 

Bukan kah masih ada sekawanan Mario Teguh yang masih mau menggelontorkan motivasi? Masih mau banyak mulut memicu setiap insan berdarah dan berdaging susah untuk mau maju? 

"Ini sudah terlalu banyak yang saya terima, sudah terlalu banyak yang saya sia-siakan.."

Jakarta, 26 September 2014
Pagi tadi, di sekitar kali Cideng, Jakarta Pusat

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Sudahkah kita bersyukur?

Senin, 22 September 2014

Suatu Malam

Butuh krayon warna-warna surga untuk melukis tentang suatu malam. Butuh berlembar-lembar lontar untuk menjabarkan suatu malam kedalam sketsa-sketsa sederhana nan rumit. Dan butuh membalik hati dan otak untuk bermultifungsi mempolakan peran dan pengadeganan tentang suatu malam.

Suatu malam. Hanya suaranya yang berkicau tentang dedaunan yang jatuh dari rindangnya pepohonan. Membentuk hamparan yang lembut ketika melontarkan tubuh dan terhempas di atasnya. Ini bukan perkara berkhianat kepada indahnya pagi hari. Tapi mengilustrasi sederhananya suatu malam.

Inilah laju percepatan dari suatu rasa. Melibas, berkelok dan membentuk pola-pola yang tak terdeskripsi oleh mata. Karena bukan lagi bahasan imajiner, tapi inilah fusi yang terbungkus dalam suatu malam.

Hoo..

Senin, 15 September 2014

Karena Engkaulah Kekasih Pertamaku…


"Pindahkan cinta di hatimu ke mana saja kamu suka

Tetapi cinta sesungguhnya hanyalah untuk kekasih pertama

Berapa banyak tempat di bumi yang disinggahi pemuda

Namun kerinduannya senantiasa untuk rumah pertama" (*)

***

Cinta pertama,
Cinta pada pandangan pertama..

Oh… ibu… ibu…
Rahimmulah rumah pertamaku…
Dalam pelukan, pangkuan, dan helai kasih sayangmulah kurasakan cintamu…
Maka, apakah mungkin orang lain ‘kan rebut tempatmu di hatiku…
Tidak…
Tak ‘kan kubiarkan hatiku berpaling darimu…
Karena…

Engkaulah kekasih pertamaku…

(*) lihat dalam الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي karya Ibnul Qayyim, hal 133

Minggu, 14 September 2014

Jumat, 12 September 2014

Dan Kau Tak Akan Tahu, Kapan Kau Berumur

Tidak pernah ingat pasti, kapan kata umur itu ada. Pohon dan hutan, manusia dan masyarakat. Semua bertumbuh dan bertambah. Mungkin, karena manusia kerap melupakan sehingga sesuatu itu diberi label, punya namanya masing-masing. Dari yang nampak hingga yang nisbi. Leluhur kita lebih pintar mengakali waktu. Agar ia tahu bertumbuh itu tak hanya dari kecil menjadi besar. Agar ia tahu bertambah itu tak hanya dari satu menjadi tak terhingga. Tetapi sesuatu yang terjadi secara simultan punya tempa. Satu dari kita pasti ada dalam jumlah, tetapi mungkin kita tak bisa di-sama-dengan-kan. Satu satu kita tumbuh melengkapi yang banyak. Setiap satu yang tumbuh punya ciri. Setiap ciri men-sejati-kan manusianya. Supaya teringat. Karena kala umur telah di ujung senja, sang diri hanya bisa berkata “apa saya sudah siap dengan bekal-bekal perjalanan meninggalkan jagat ini?”.

Tidak pernah ingat pasti, kapan umur itu ada. Mengulang tahun justru aku bertumbuh. Hidup memang telah berubah. Celoteh kini hanya untuk tertawa. Tertawa pada kini. Semua itu kini menjelma mitos. Masa kecil memang kadang dimanipulasi. Agar kau senang. Saat nanti menjelang siang, tak perlu terik menyengat, ada sadarmu jadi pelindung yang rindang. Ingatlah kini, ingatlah nanti, meski sesaat, cuma sesaat. Hiduplah penuh dengan kini, saat ini. Dalam Iman dan Islam, dalam jiwamu, dalam kata, dalam tubuh, dalam niat, dalam sekitarmu. Dan kau tak akan tahu, kapan kau 'berumur'.

Selamat, masih bisa hidup~