Jumat, 26 September 2014

Gelas Plastik

gambar di atas hanya ilustrasi

Tak putus mesin paru-parumu menjaring oksigen di antara tumpukan tiang-tiang beton beralas aspal panas. Dan melepasnya dengan segumpal peluh di lengan, leher, kepala. Sekilo dua kilometer itu luar biasa, yang biasa adalah karung kosong tak terisi sampah.

Gigi depan rahang atasmu telah punah oleh bogem mentah. Untung yang bawah masih rapi berjajar. Lumayan untuk olah raga pagi menggiling pisang goreng dan secangkir teh tawar.

Kulitmu mengkisut. Tak lagi mencengkram kuat daging-dagingnya. Selang-selang otot saling bertaut dibawahnya. Dengan aliran darah menggemukkan selang-selang itu. 

Memproses dengan gerak mencoba mencekik nasib yang terlalu banyak menelan waktu.

Terlalu lanjut untuk dirimu menghidupi hidupmu yang kurang dari sejengkal saja liang kubur. Daging beradu dengan aspal. Tangan menghantam hamburan sampah. Mengoyak mencari sisa dan menyelipkan doa 

"semoga hari ini 4 kilo aku bawa"

Peluh menjadi juruh. Air liur menjadi mineral pertama menghanyutkan dahaga. Lalu kenapa kamu masih bisa tersenyum wahai orang susah?

Karena "ini jatah saya sebagai pelengkap yang sudah ada..." 

Bukan kah masih ada sekawanan Mario Teguh yang masih mau menggelontorkan motivasi? Masih mau banyak mulut memicu setiap insan berdarah dan berdaging susah untuk mau maju? 

"Ini sudah terlalu banyak yang saya terima, sudah terlalu banyak yang saya sia-siakan.."

Jakarta, 26 September 2014
Pagi tadi, di sekitar kali Cideng, Jakarta Pusat

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Sudahkah kita bersyukur?

2 komentar:

  1. padahal di sisi lain mereka berjasa bersihin sampah di sepanjang kali cideng, andai orang2 seperti mereka dipekerjakan dengan layak dan profesional, hidup mereka seenggaknya bisa terangkat sedikit

    BalasHapus