Selasa, 08 Juli 2014

Syukur

Menelisik cerita seorang kawan. Ada satu dua dan tiga hal yang bisa saya serap. Menurut saya itu baik. Menurut saya juga itu sebuah pembenahan. Berbenah diri mungkin itu benang merah. Lalu kenapa saya harus berbenah diri. Apa ada yang salah selama ini dari diri saya? Mungkin ada mungkin tidak. Toh saya hanya sesuatu yang disebut manusia. 

Tidak ada yang bisa disempurnakan hanya karena teranggap makhluk yang paling tinggi derajatnya. Bukan jaminan untuk mengisi kuota makhluk calon penghuni surga.

Seorang kawan, setengah jalan lolos dari cobaan terberat dalam hidupnya. Bisa hidup selamanya namun bisa saja terbaring selamanya. Tapi nasib bicara lain. Dia masih bisa bertutur tentang apa yang dinamakan bersyukur. 

Mengubah dirinya menjadi sesuatu yang disebut manusia untuk lebih menghargai nyawa dan hidup. Saya paksa lepas dari percobaan membayangkan nasib itu jatuh ke hidup saya. 

Tapi tidak percobaan itu selalu datang dan menggumpal di otak dan di hati. Menciptakan tatanan alur cerita yang belum tentu saya sanggup menopangnya. Benar bahwa Allah takkan memberikan cobaan di luar kemampuan makhluk-Nya. Hal itu yang saya cekal sebagai acuan untuk menentukan nasib hidup saya sendiri.

Lalu apa yang bisa saya timba dari cerita seorang kawan tersebut. Yaitu bersyukur, bersyukur untuk apa-apa yang sudah saya terima. Namun persoalan memberi itu yang jarang sekali saya lakukan. 

Bukan tidak ada kesempatan, tapi mengabaikkan kesempatan itu hanya karena atas nama rutinitas. Mungkin kelak suatu hari, saya ingin sekali menaikkan grafik kualitas hidup saya. Setidaknya walau sedikit, tapi bisa mengobati rindu akan hidup yang memiliki kualitas.

0 komentar:

Posting Komentar