Kemajuan teknologi selayaknya menjadikan kita lebih giat belajar agama. Dibandingkan para ulama salaf dulu, sebenarnya sarana dan prasarana kita jauh lebih mendukung untuk menuntut ilmu agama. Akan tetapi, benarlah kata pepatah Arab, tekad lebih bermakna daripada alat. Di tengah keterbatasan, para ulama bisa menuntut ilmu, meniti ratusan kilo demi mendapatkan ilmu. Mereka menulis ratusan kitab dengan pena mereka, bukan dengan mesin tik, komputer, laptop ataupun tablet. Bahkan Syaikh Abdurrahman Nasir As Sa’di rahimahullah menulis tafsirnya yang terkenal (Al Aisar) dengan menggunakan pena. Suatu hal yang mustahil dicapai tanpa motivasi intern dan tekad yang kuat.
Adalah Muhammad bin Idris rahimahullah (yang lebih terkenal dengan Imam Syafi’i) mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia tujuh tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik pada usia dua belas tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Dua belas tahun, sungguh usia yang masih amat belia. Bagaimana dengan kita?