Sabtu, 14 Februari 2015

Skenario Anak Jalanan

Beberapa minggu yang lalu, di perjalanan dari sebuah kompleks pertokoan di pinggiran Ibu Kota menuju kos, saya melihat pemandangan yang kelu. Sebenarnya, bukan kali pertama atau kedua saya melihat ini, mungkin karena jarum jam sudah menunjuk pukul 23.00, skenario seperti itu jadi terlihat tidak biasa

Apa yaa..

Saya melihat dua remaja perempuan, masing-masing membawa anak kecil. Anak kecil yang satu digendong dengan pose yang asal-asalan, dan anak kecil yang satu lagi dituntun sambil ditarik-tarik. Saya yakin, dua anak kecil itu, umurnya belum lebih dari 2 tahun. Dan, perlakuan seperti itu pasti sangat tidak mengenakkan.

Saat itu, taksi yang saya naiki sedang berhenti karena traffic light dalam kondisi merah. Dan, dua remaja itu bergantian menghampiri taksi ini berharap mendapat belas kasih. Ya, sudah jadi rahasia umum, skenario menarik simpati orang lain dengan membawa anak kecil itu dijadikan ajang untuk mendapatkan uang. Bahasa kasarnya, ngemis.

Hngg..

“Biarkan aja mas, udah biasa kok anak-anak itu. Itu, orang tuanya ada di pojok sana tuh. Ngeliatin mereka dari jauh. Enak kan, orang tua nya duduk-duduk di pinggir, anak-anaknya disuruh ngemis. Orang tua nggak bener tuh.”, kata supir taksi dengan sedikit logat Bataknya.

Saya lihat ke arah yang ditunjuk oleh Bapak supir taksi itu, dan memang disana banyak gerombolan orang-orang dewasa. Tapi, saya sendiri juga tidak tahu apakah mereka itu orang tua sungguhan atau tidak.

Sementara itu, anak kecil itu, yang berjalannya saja masih belum benar. Kadang sempoyongan kesana, kesini, dan mau jatuh. Tiap kali anak kecil itu, berjalan miring ke kiri, oleh remaja itu langsung ditarik dan dijendul kepalanya. Sekali dua kali, anak kecil itu tertawa nggak bersalah. Tapi, lama-lama, dia nangis. Ya, benar saja nangis. Diperlakukan kasar kayak gitu. Pasti kepalanya sakit kan.

Sedangkan, anak kecil yang digendong oleh remaja satunya, tiap kali gerak sedikit langsung dicubit. Mungkin si remaja itu sudah lelah, menggendong anak kecil itu berat, sendirian lagi.

Dan, ini sudah jam berapa?

Jam 11 malam, di saat balita harusnya sudah tidur lelap di rumah. Tapi balita-balita itu masih berkeliaran di jalanan, dengan baju yang lusuh dan tanpa alas kaki! Di luar itu, hujan baru saja reda, dan dengan kaos tipis lusuh itu tidak meyakinkan sekali bisa memberi mereka rasa hangat.

Dalam skenario ini ada tiga subjek: anak kecil, remaja, dan orang tua. Jika ingin menyalahkan, setiap orang tentu tidak ingin disalahkan. Jadinya pasti saling menyalahkan satu dengan yang lain dan pada akhirnya semua akan merasa benar. Lah, jadi salah kaprah. Jadi salah siapa?

Ini bukan persoalan benar atau salah, karena putaran roda itu semakin tersistem. Dari himpitan ekonomi, nasib buruk, putus asa, sampai budaya malas. Dan ujung tombaknya adalah pola pikir yang merusak semuanya. Mungkin, ada yang merasa “toh hidup di dunia ini cuma numpang lewat saja, cepatlah berlalu dan berganti dengan kehidupan yang baru.”

Biar saja, perasaan bersalah itu muncul di masing-masing orang. Saya pun jadi ikut merasa bersalah, karena saya belum bisa melakukan apapun untuk menghentikan kesalahan yang tersistem itu.

Hanya saja, terpikir bagaimana rasanya jadi balita itu?

“Seandainya ada kesempatan untuk hidup sekali lagi, bolehkan kami memilih?” :'

0 komentar:

Posting Komentar