Jika kita punya dua titik terpisah satu sama lain, maka jarak tempuh terdekat dari satu titik menuju titik lainnya adalah dengan menarik garis lurus diantara keduanya. Sedangkan kita semua pasti tahu, bahwa semakin pendek jarak tempuh, maka akan semakin singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir, titik tujuan yang kita inginkan.
Bayangkan, jika ada dua kendaraan diletakkan di posisi awal yang sama, lalu para pengemudi diinstruksikan untuk memacu kendaraan masing-masing dengan kecepatan yang sama, menuju pos pemberhentian yang sama pula, namun diharuskan menempuh jalur berbeda, misalkan satu jalur merupakan garis lurus dan jalur lainnya memiliki beberapa belokan dan tikungan tajam. Semua juga akan mampu memastikan, bahwa mobil dengan jalur lurus akan tiba lebih dahulu di titik pemberhentian terakhir.
Kunci lekas sampai adalah, tetaplah berjalan pada garis lurus. Itu saja.
Saya ingin meminjam kaidah ketaksamaan segitiga yang sering digunakan untuk menyelesaikan beberapa permasalahan matematis, bahwa jika ada tiga titik berbeda, A, B, dan C yang tak segaris, maka secara sederhana, garis (AC) akan selalu kurang dari atau sama dengan garis (AB + BC). Artinya, untuk mencapai Surabaya, dari Jakarta, kita tak perlu iseng melewati Pontianak lebih dulu, berlayar dua kali, baru kemudian berlabuh di Tanjung Perak. Kecuali, kita sedang mengalami gangguan rasionalitas pikir.
Namun tampaknya, hidup tak sesederhana ketaksamaan segitiga.
Andaikan saja dua titik yang saya sebutkan di awal tulisan dikonversikan pada ‘satuan momentum awal dan akhir kehidupan’ maka saya sudah tidak mampu lagi menjelaskan secara presisi, garis macam apa yang telah saya bentangkan selama ini, di antara kedua titik tadi. Beberapa hari lalu, disuatu malam, ketika saya berkesempatan merunut kembali setiap fase hidup yang telah dilewati, akhirnya saya sadar, telah ‘ratusan’ belokan dan ‘puluhan’ tikungan tajam yang sengaja atau tak sengaja dilintasi. Benar bahwa saya turut ‘berkendara’ bersama mereka lainnya, tapi seringkali tiba-tiba tuas kemudi terdistraksi oleh persimpangan yang tiba-tiba muncul di tengah perjalanan.
Memang, memisalkan akhir kehidupan sebagai titik tujuan akhir adalah sebuah ketepatan.
Belia, muda, maupun tua tidak ada yang tahu, mereka pun bisa merasakan kematian. Setahun yang silam, kita barangkali melihat saudara kita dalam keadaan sehat bugar, ia pun masih muda dan kuat. Namun hari ini ternyata ia telah pergi meninggalkan kita. Kita pun tahu, kita tidak tahu kapan maut menjemput kita. Entah besok, entah lusa, entah kapan. Namun kematian sobat kita, itu sudah cukup sebagai pengingat, penyadar dari kelalaian kita. Bahwa kita pun akan sama dengannya, akan kembali pada Allah. Dunia akan kita tinggalkan di belakang. Dunia hanya sebagai lahan mencari bekal. Alam akhiratlah tempat akhir kita.
Sungguh kematian dari orang sekeliling kita banyak menyadarkan kita. Oleh karenanya, kita diperingatkan untuk banyak-banyak mengingat mati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه
“Perbanyaklah banyak mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehiupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani).
Saya belum tahu persis bagaimana kira-kira wajah titik akhir saya.
Ada sepotong kisah tentang seorang sahabat tercinta, dulunya adalah orang yang menuntun saya untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu gigih menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada saya. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin tidak jelas. Saya hanya berdo’a semoga ia diberi petunjuk oleh Allah.
Saya beranggapan, tidak pernah ada konsep jarak pada hidup sesungguhnya. Kejam rasanya ketika kita menyebutkan bahwa si ini sedang berposisi di belakang si itu, si Fulan telah mendahului si Falan, atau beragam justifikasi posisi lainnya. Bukankah kita ini adalah para individu unik dengan titik destinasi yang bisa jadi sama namun cenderung memiliki beribu cara yang berbeda? Kita mungkin memang sedang berkendara bersama-sama, tapi tampaknya kita tidak sedang beradu kecepatan lalu mendasarkan keberhasilan pada seberapa sering kita mendahului kendaraan lain dan seberapa cepat kita sampai di garis finish. Tidak, hidup akan terasa demikian tergesa jika kita menjalaninya dengan cara seperti itu.
Hingga kini, saya masih sangat menikmati jalur yang telah dan akan saya lalui. Sepanjang perjalanan, saya terus belajar bagaimana saling berbagi bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun, ketika mendadak harus kekurangan bahan bakar. Saya menyadari sepenuhnya kebodohan diri sendiri ketika ternyata kendaraan saya hanya berputar tanpa kejelasan. Saya belajar menemukan titik balik, berusaha menggenggam erat 'bara api', lalu berusaha kembali menuju destinasi. Kadang saya kelelahan, tapi tidak akan ada yang mampu mengalahkan kepuasan ketika ada sesuatu berharga yang ditemukan secara sadar dalam satu rentang perjalanan.
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6).
Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246)
Ada konsep solusi kuadrat terkecil, berakar dari konsep ketaksamaan segitiga, untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan model matematis. Tapi hidup, sepertinya bukan lagi sekadar model matematis yang dapat sedemikian rupa disederhanakan dan diasumsikan kondisi awalnya. Hidup, mungkin akan lebih memberi arti jika kita tetap berjalan di atas jalan utama yang lurus (al-Qur'an dan as-Sunnah) sehingga bisa terus kokoh dalam agama.
Allahul musta'an