"Telah kita lalui bersama beberapa waktu lalu melewati pahit manisnya hidup. Telah kita lalui bersama beberapa waktu lalu memuntahkan kegelisahan hati kita bersama. Telah kita lalui bersama beberapa waktu lalu membangkitkan kembali semangat kita.
Bersama, kami pernah terlibat begitu banyak tawa. Bersama kami pernah terlibat begitu banyak canda. Bersama kami saling berkeluh kesah. Bersama kami saling beradu gagasan, beradu ego, beradu mulut. Bersama kami telah saling menyemangati. Bersama kami telah membentuk suatu ikatan kekeluargaan.
Tersadar pun oleh diri ini. Dunia tak berhenti pada suatu titik kebersamaan. Ada kalanya tali itu mengendur hingga saling terjauhkan. Ada kalanya tali itu saling mengerat hingga tak terpisahkan."
Wakatobi (2017–2020)
Kadang, sebagai manusia, kita ingin waktu dapat melambat. Sedikit saja. Ya, setidaknya, itu terjadi pada kami. Jumat, 17 Februari 2017, Allah mengabulkan doa kami. Saya dan istri pertama kali mendarat di sebuah pulau kecil di ujung Tenggara Sulawesi Tenggara, Wangi-Wangi namanya, salah satu gugusan pulau besar dari Kepulauan Wakatobi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko).
Dan di sinilah kami, 3 tahun berpetualang, mempelajari banyak hal, bertemu beragam manusia, berbagi kisah dan pengalaman, mendewasakan diri sekaligus mengistirahatkan jiwa kami yang cukup lelah dengan pekerjaan kantor yang tak ada habisnya; Wakatobi, pulau yang sederhana, namun masih ramai meski matahari telah terbenam.
Udara bersih, dingin di pagi hari, terik di siang hari dengan 'dua' matahari yang menyinari, sepoi-sepoi angin laut menyambut kami dengan ramah, seakan memeluk erat rasa penat yang kami bawa dari ibu kota; cantiknya tebing-tebing karang, indahnya kehidupan bawah laut, pesona budaya dan kuliner mampu memanjakan indera-indera kami; kecantikan, kesederhanaan, dan tradisionalitas masyarakatnya mampu mengurai benang kusut di otak kami.
Tinggal di sebuah kontrakan kecil di lingkungan perkantoran yang sepi tak membuat kami, bahkan kedua orang tua kami yakin bahwa Wakatobi adalah tempat yang tepat untuk kami tinggali. Kami dikelilingi tetangga-tetangga yang baik, pemilik kontrakan yang kami anggap orang tua kami sendiri, rekan kerja yang bersahabat dan terasa kehangatannya. Lingkungan sekitar pun bikin kami makin betah, sahabat-sahabat kami di Pemerintah Daerah, teman-teman kajian Wakatobi Mengaji, ibu-ibu Arisan komplek BTN, responden-responden ramah murah senyum dan tak enggan berbagi cerita kepada kami yang pendatang, sahabat-sahabat suku Bajo penghafal al-Qur'an, rekan-rekan mitra BPS yang tangguh, teman-teman pegiat wisata dan kuliner Wakatobi, teman-teman driver rental, teman-teman BEKRAF dan dokter magang, konsumen Dapur Norma, dan semua sahabat serta keluarga kami di sana yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mereka semua memberi warna yang berbeda yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Warna yang sungguh indah tentunya.
Wakatobi, membelai jiwa kami yang kelelahan, mengajari kami untuk kembali bersyukur, sekalipun terhadap hal paling sederhana. Rasanya, waktu berhenti sejenak saat itu. Sungguh, Wakatobi adalah senyaman-nyamannya zona nyaman.
Terima kasih Wakatobi, telah menerima kami dan menyajikan kenangan indah tak terlupakan. Semoga kami bisa berjumpa kembali, jika Allah menghendaki.
Kendari (2020-2024)
Saya sampai di kota ini dengan bau tanah sehabis hujan. Rumah batu, pasir kuning, debu jalanan, aspal yang panas, kendaraan bermotor kecepatan tinggi yang menyalip dari lajur kiri (haduuh, harusnya menyalip dari kanan bos), tipikal perkotaan pada umumnya dengan pengemudi yang cukup ugal-ugalan, batinku. Perasaan kami masih campur aduk setibanya di sini, antara rindu dengan Wakatobi, kesedihan meninggalkan keluarga di Wakatobi, bahagia telah naik satu level di kehidupan karir kami, capek berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, sampai rasa takut/khawatir atas apa yang akan kami hadapi selanjutnya di tempat yang baru ini.
Di sinilah pula kami menemukan bapak/ibu yang menjadi panutan, teman-teman yang kompak, kakak-kakak yang mengayomi, adik-adik tangguh yang kami percaya, serta orang-orang yang membuka wawasan dan cara berpikir kami yang masih sangat sempit kala itu. Meski semua berawal dari dunia kerja, namun seiring berjalannya waktu, mereka bermetamorfosa menjadi keluarga baru kami. Di kota yang awalnya kami anggap kota yang tak ramah. Namun ternyata, kota ini menyadarkan kami bagaimana cara berbahagia di lingkungan yang lebih beragam dengan segala macam kompleksitasnya. Mensyukuri setiap momen di tengah cepatnya waktu yang berlalu. Tak selamanya kami tinggal di lingkungan sederhana seperti di perdesaan, pun tak selamanya kami tinggal di lingkungan yang kompleks seperti perkotaan.
Kota Kendari mendidik kami, menjadi manusia yang lebih tangguh, mandiri, bisa diandalkan, mampu memberi manfaat kepada sekitar, dan terus belajar menjadi lebih baik. Di sinilah kami menyadari bahwa belajar bukan hanya dominasi mata, telinga, otak dan indera-indera fisik lainnya. Belajar juga merupakan pekerjaan hati. Belajar tak terbatas pada pelatihan, pendidikan formal, maupun kursus-kursus dan webinar. Memaknai kehidupan juga merupakan sebuah proses pembelajaran, merenungi kehidupan juga merupakan sebuah proses pembelajaran. Di Kendari inilah, kami lebih banyak belajar, belajar tentang makna kehidupan yang sesungguhnya dan bagaimana agar bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Terima kasih Kendari, telah menerima kami, mengayomi kami, dan menyajikan wejangan yang menempa tekad kami. Semoga kami bisa bersua kembali, jika Allah menghendaki.
April 2024, Meninggalkan Bumi Anoa
Benarlah segala sesuatu itu ada masanya. Segalanya ada waktunya. Saatnya kami berpisah kembali dengan orang-orang yang kami cintai. Wakatobi, lalu Kendari, ke tempat yang akan membawa kami ke persinggahan selanjutnya, di kehidupan kami yang lain lagi. Namun yang pasti, saat kami bersama kehidupan kami yang lain, tetap kami nyatakan mereka keluarga kami. Keluarga yang memang begitu adanya.
Ya, setidaknya masih ada kesempatan untuk 'mengabdi' sekali lagi bersama mereka, dengan kisah yang berbeda, dengan batasan-batasan yang lain dari biasanya, namun yang terpenting dengan mereka yang begitu luar biasa bagi saya.
Sejalan dengan waktu yang bergulir, kita pasti akan bertemu peubah dan parameter baru, dengan atau tanpa disengaja. Hingga kehidupan yang terasa linear menjelma menjadi sistem persamaan non-linear yang mesti didapatkan solusinya.
Nikmatilah. Karena pada masa itu kau akan semakin terlatih, menemukan keseimbangan.
Maknailah, dengan sederhana dan bersahaja. Karena di titik manapun engkau berada, di sana akan selalu tertanam doa dan cita-cita, in syaa' Allah.
"Semuanya akan terasa indah, apabila kita jalani dengan ikhlas. Sebab, pekerjaan paling sulit bagi manusia adalah mensyukuri segala nikmat Allah Ta'ala. Bukan soal nilai rupiah, lebih dari itu bagi saya. Ini soal hakikat. Melalui perjalanan ini, saya banyak mendapatkan pelajaran.
Karena setiap langkah adalah karya, karena setiap nafas adalah makna. dan di setiap pikiran selalu ada rencana. Karena dunia ciptaan-Nya ini sungguh indah, seindah-indahnya gradasi warna dalam batas cakrawala" - Ryan W. Januardi
Bangil, 28 Ramadhan 1445 H
Recap video (oleh Damara Utama):
*ah, saya seperti baru saja terbangun dari mimpi yang begitu panjang,