Kamis, 29 Agustus 2024

Sebab Akibat

Mungkin, pepatah legendaris yang harus segera ditinjau dan direvisi adalah pepatah : "Time is Money".

Gara-gara pepatah itu, hampir seluruh umat manusia bersemangat dan berlomba untuk mengonversi waktu yang telah mereka habiskan dengan sejumlah uang. Saya tidak sedang bermaksud mengatakan bahwa kecenderungan tersebut merupakan hal yang salah. Uang tetaplah menjadi konversi yang paling masuk akal, wajar, dan manusiawi, utamanya bagi individu-individu yang sudah berkeluarga.

Kita membutuhkannya untuk membeli beras, lauk-pauk, dan sayur. Kita juga memerlukannya untuk skincare si Istri, untuk mendukung tongkrongan si Suami, angsuran rumah, bahan bakar kendaraan bermotor, dan tabungan. Bahkan untuk sekadar menikmati secangkir kopi dan seblak cireng bersama keluarga, saat akhir pekan tiba.

Semua itu perlu alat tukar. Dan sayangnya, alat tukar yang disepakati saat ini adalah uang. Kecuali kita bisa membayar IPL perumahan dengan 5 kilo beras. Itu mungkin agak menarik.

Masa berkeluarga kadang membuat kita melepas jubah-jubah idealisme dan loyalitas yang pernah dengan jumawa kita kenakan. Di zaman mahasiswa, kita mulai bermetamorfosis menjadi manusia 'sulit' yang secara tak sadar menasbihkan slogan 'Wani Piro?' di otak kita. 

Dampaknya? Menyedihkan.

Kita selalu saja 'berhitung' dalam setiap pekerjaan, yang bahkan sudah menjadi kewajiban kita, meski mungkin kita terjemahkan dalam bentuk nyinyiran dan keluhan di media sosial. Kita seringkali memilih berhenti atau mundur dari suatu kewajiban atau pekerjaan ketika indera penciuman belum menemukan aroma kertas persegi panjang bergambar pahlawan dan tokoh-tokoh negara, di dalamnya. Kita mulai malas menjadi inovator dan lebih memilih untuk menjadi eksekutor. 

Pelan-pelan, tapi pasti, orientasi kita mulai berubah, Uang adalah penyebab, tidak lagi akibat.

Saya masih ingat betul bagaimana dulu para senior kampus mengkader dan menjejali otak, hati dan jiwa kami-para mahasiswa baru yang masih unyu dan tak berdosa-dengan nilai-nilai loyalitas, kebanggaan, sense of belonging, tanggung jawab, kepemimpinan, dan sederet nilai lain yang harus kami telan dan peragakan selama satu semester, bahkan lebih. Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Pahit sekali. Itu semua bukan soal 'ploncoan' lho ya. Jelasnya, melalui masa-masa itu, saya belajar dan melekatkan banyak hal yang masih kental hingga sekarang.

Ketika itu, kami semua belum berkeluarga. Para senior itu pun demikian.

Mereka semua mengkader kami tanpa imbalan sepeserpun. Malah mungkin mereka keluarkan dana dari saku pribadi, untuk operasional hajatan tahunan itu. Kami pun demikian. Entahlah, mungkin hidung-hidung kami belum terlalu peka dengan aroma khas kertas-kertas terbitan BI.

Kini, setelah menapaktilasi perjalanan lalu, saya jadi bertanya:

Apakah saat ini, kita sudah berorientasi pada hal yang tepat? Bukankah semestinya, uang menjadi akibat dari segala jerih payah, usaha, loyalitas, pemikiran, karya, dan pengorbanan? Tidakkah uang merupakan dampak otomatis dari tindakan kita? 

Saya belum tahu jawabannya. Kalaupun saya tahu dan saya jawab, mungkin kepala ini sudah babak belur dihajar teman-teman realist. Karena saya tahu, pertanyaan saya sangat ideal dan 'kurang ajar'.

Namun yang pasti, kita semua sudah sama-sama dewasa. Saya dan Anda bukan lagi mahasiswa baru yang dapat dengan mudah dibariskan lalu diminta push-up berantai sebagai konsekuensi atas ke'koplak'an berjamaah yang kita lakukan tanpa atau dengan sadar. Jadi, semoga kita senantiasa bertumbuh, menjadi manusia dewasa, 'mudah' dan sederhana.

Selamat dini hari, mari bekerja kembali, demi sesuap nasi dan uang 1 miliar.

Minggu, 07 April 2024

Surat Cinta untuk Bumi Anoa

"Telah kita lalui bersama beberapa waktu lalu melewati pahit manisnya hidup. Telah kita lalui bersama beberapa waktu lalu memuntahkan kegelisahan hati kita bersama. Telah kita lalui bersama beberapa waktu lalu membangkitkan kembali semangat kita.

Bersama, kami pernah terlibat begitu banyak tawa. Bersama kami pernah terlibat begitu banyak canda. Bersama kami saling berkeluh kesah. Bersama kami saling beradu gagasan, beradu ego, beradu mulut. Bersama kami telah saling menyemangati. Bersama kami telah membentuk suatu ikatan kekeluargaan.

Tersadar pun oleh diri ini. Dunia tak berhenti pada suatu titik kebersamaan. Ada kalanya tali itu mengendur hingga saling terjauhkan. Ada kalanya tali itu saling mengerat hingga tak terpisahkan."


Wakatobi (2017–2020)

Kadang, sebagai manusia, kita ingin waktu dapat melambat. Sedikit saja. Ya, setidaknya, itu terjadi pada kami. Jumat, 17 Februari 2017, Allah mengabulkan doa kami. Saya dan istri pertama kali mendarat di sebuah pulau kecil di ujung Tenggara Sulawesi Tenggara, Wangi-Wangi namanya, salah satu gugusan pulau besar dari Kepulauan Wakatobi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko). 

Pertama kali mendaratkan kaki di Wakatobi, 17 Februari 2017

BPS Kabupaten Wakatobi, 17 Februari 2017

Pengawasan lapangan pertama di Wakatobi (Sakernas), Pulau Kapota, 18 Februari 2017

Dan di sinilah kami, 3 tahun berpetualang, mempelajari banyak hal, bertemu beragam manusia, berbagi kisah dan pengalaman, mendewasakan diri sekaligus mengistirahatkan jiwa kami yang cukup lelah dengan pekerjaan kantor yang tak ada habisnya; Wakatobi, pulau yang sederhana, namun masih ramai meski matahari telah terbenam. 

Nonton pertandingan sepak bola di Pelabuhan Pangulubelo, 19 Februari 2017

Bocil Bajo main di laut, April 2017

Pertama kali jalan-jalan menyebrang Pulau Kaledupa, April 2017

Pertama kali menikmati Kasoami, Sayur Bunga Pepaya, dan Ikan Asap khas Wakatobi

Udara bersih, dingin di pagi hari, terik di siang hari dengan 'dua' matahari yang menyinari, sepoi-sepoi angin laut menyambut kami dengan ramah, seakan memeluk erat rasa penat yang kami bawa dari ibu kota; cantiknya tebing-tebing karang, indahnya kehidupan bawah laut, pesona budaya dan kuliner mampu memanjakan indera-indera kami; kecantikan, kesederhanaan, dan tradisionalitas masyarakatnya mampu mengurai benang kusut di otak kami. 

Kontrakan pertama kami, Mandati III, Wakatobi, 2017

Bapak Ibuk Oryz, pertama kali mendarat di Wakatobi, 2018

Snorkeling bareng bapak (mertua), 2018

Papa mama jalan-jalan ke Wakatobi, 2019

Tinggal di sebuah kontrakan kecil di lingkungan perkantoran yang sepi tak membuat kami, bahkan kedua orang tua kami yakin bahwa Wakatobi adalah tempat yang tepat untuk kami tinggali. Kami dikelilingi tetangga-tetangga yang baik, pemilik kontrakan yang kami anggap orang tua kami sendiri, rekan kerja yang bersahabat dan terasa kehangatannya. Lingkungan sekitar pun bikin kami makin betah, sahabat-sahabat kami di Pemerintah Daerah, teman-teman kajian Wakatobi Mengaji, ibu-ibu Arisan komplek BTN, responden-responden ramah murah senyum dan tak enggan berbagi cerita kepada kami yang pendatang, sahabat-sahabat suku Bajo penghafal al-Qur'an, rekan-rekan mitra BPS yang tangguh, teman-teman pegiat wisata dan kuliner Wakatobi, teman-teman driver rental, teman-teman BEKRAF dan dokter magang, konsumen Dapur Norma, dan semua sahabat serta keluarga kami di sana yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mereka semua memberi warna yang berbeda yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Warna yang sungguh indah tentunya.

Bersama para pekerja anak di Danau Tailaronto'oge pulau Kapota, Mei 2019 (Lihat artikel)

Belanja ikan segar di Pasar Sore Marina tiap sore

Lure Krispi Dapur Norma masuk pameran kuliner Wakatobi Wave 2019

Karena lagi perjadin, minta tolong teman kantor jaga stand Dapur Norma yang dikunjungi Bupati, terima kasih Yusuf, dkk.

Wakatobi, membelai jiwa kami yang kelelahan, mengajari kami untuk kembali bersyukur, sekalipun terhadap hal paling sederhana. Rasanya, waktu berhenti sejenak saat itu. Sungguh, Wakatobi adalah senyaman-nyamannya zona nyaman.

Sarapan sehabis upacara bersama Bupati, wkwk

Bakar ikan dengan pagar kantor, wkwk

Hari terakhir bersama tim hebat BPS Wakatobi, hiks

Terima kasih Wakatobi, telah menerima kami dan menyajikan kenangan indah tak terlupakan. Semoga kami bisa berjumpa kembali, jika Allah menghendaki.

Kendari (2020-2024)

Saya sampai di kota ini dengan bau tanah sehabis hujan. Rumah batu, pasir kuning, debu jalanan, aspal yang panas, kendaraan bermotor kecepatan tinggi yang menyalip dari lajur kiri (haduuh, harusnya menyalip dari kanan bos), tipikal perkotaan pada umumnya dengan pengemudi yang cukup ugal-ugalan, batinku. Perasaan kami masih campur aduk setibanya di sini, antara rindu dengan Wakatobi, kesedihan meninggalkan keluarga di Wakatobi, bahagia telah naik satu level di kehidupan karir kami, capek berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, sampai rasa takut/khawatir atas apa yang akan kami hadapi selanjutnya di tempat yang baru ini.

Pindahan dari Wakatobi, 2020

Benar saja, tak sampai dua bulan kami tinggal di ibu kota yang tak ramai dan tak ramah ini (kesan pertama kami), badai pandemi menyerang ibu pertiwi. Wabah antah berantah yang cukup mematikan tiba-tiba menjangkiti negeri kami. Tinggal di rumah saja jadi kebiasaan baru. Hampir dua tahun kami tak banyak bersosialisasi dengan orang sekitar selain dengan rekan kantor kami (meski kebiasaan ini sebenarnya berlanjut selama 4 tahun kami di sini, karena tinggal di lingkungan kos yang pergantian penghuninya cukup cepat). Namun, di sinilah titik balik berubahnya kesan pertama kami. 

WFH tiap hari, 2020-2021

Pertengahan 2021 merupakan tahun yang berat bagi kami. Di tengah pekerjaan yang membabi buta, Delta ternyata bertamu ke tempat kami, bahkan keluarga kami. Sungguh rasanya ibarat gladi sakaratul maut. Di tengah kesulitan yang kami hadapi, tak disangka-sangka, rekan kerja kami, gotong royong membantu kami. Di saat kami tak memiliki satupun sanak saudara ataupun dekat dengan orang tua di sini, mereka dengan sukarela menawarkan posisi sebagai saudara dan orang tua kepada kami. Menjadi garda terdepan yang menolong kami. Dari mencarikan obat yang mulai langka keberadaannya, mengirimi kami minuman herbal nan ampuh meredakan batuk kering kami, membelikan air galon yang mulai mengering, memberikan segala macam amunisi makanan dan minuman serta alat kesehatan yang alhamdulillah mempercepat proses pemulihan kami. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat.

Lembur DDA pertama kali, 2021

Kerja bersama tim super BPS Sultra

Di sinilah pula kami menemukan bapak/ibu yang menjadi panutan, teman-teman yang kompak, kakak-kakak yang mengayomi, adik-adik tangguh yang kami percaya, serta orang-orang yang membuka wawasan dan cara berpikir kami yang masih sangat sempit kala itu. Meski semua berawal dari dunia kerja, namun seiring berjalannya waktu, mereka bermetamorfosa menjadi keluarga baru kami. Di kota yang awalnya kami anggap kota yang tak ramah. Namun ternyata, kota ini menyadarkan kami bagaimana cara berbahagia di lingkungan yang lebih beragam dengan segala macam kompleksitasnya. Mensyukuri setiap momen di tengah cepatnya waktu yang berlalu. Tak selamanya kami tinggal di lingkungan sederhana seperti di perdesaan, pun tak selamanya kami tinggal di lingkungan yang kompleks seperti perkotaan.






Work Life Balance

Kota Kendari mendidik kami, menjadi manusia yang lebih tangguh, mandiri, bisa diandalkan, mampu memberi manfaat kepada sekitar, dan terus belajar menjadi lebih baik. Di sinilah kami menyadari bahwa belajar bukan hanya dominasi mata, telinga, otak dan indera-indera fisik lainnya. Belajar juga merupakan pekerjaan hati. Belajar tak terbatas pada pelatihan, pendidikan formal, maupun kursus-kursus dan webinar. Memaknai kehidupan juga merupakan sebuah proses pembelajaran, merenungi kehidupan juga merupakan sebuah proses pembelajaran. Di Kendari inilah, kami lebih banyak belajar, belajar tentang makna kehidupan yang sesungguhnya dan bagaimana agar bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Wonua Momahe, 2023

Labengki-Sombori, 2023

Terima kasih Kendari, telah menerima kami, mengayomi kami, dan menyajikan wejangan yang menempa tekad kami. Semoga kami bisa bersua kembali, jika Allah menghendaki.

April 2024, Meninggalkan Bumi Anoa

Terharu banyak yang mengantar :')

Benarlah segala sesuatu itu ada masanya. Segalanya ada waktunya. Saatnya kami berpisah kembali dengan orang-orang yang kami cintai. Wakatobi, lalu Kendari, ke tempat yang akan membawa kami ke persinggahan selanjutnya, di kehidupan kami yang lain lagi. Namun yang pasti, saat kami bersama kehidupan kami yang lain, tetap kami nyatakan mereka keluarga kami. Keluarga yang memang begitu adanya.

Ya, setidaknya masih ada kesempatan untuk 'mengabdi' sekali lagi bersama mereka, dengan kisah yang berbeda, dengan batasan-batasan yang lain dari biasanya, namun yang terpenting dengan mereka yang begitu luar biasa bagi saya.

Sejalan dengan waktu yang bergulir, kita pasti akan bertemu peubah dan parameter baru, dengan atau tanpa disengaja. Hingga kehidupan yang terasa linear menjelma menjadi sistem persamaan non-linear yang mesti didapatkan solusinya.

Nikmatilah. Karena pada masa itu kau akan semakin terlatih, menemukan keseimbangan.

Maknailah, dengan sederhana dan bersahaja. Karena di titik manapun engkau berada, di sana akan selalu tertanam doa dan cita-cita, in syaa' Allah.

"Semuanya akan terasa indah, apabila kita jalani dengan ikhlas. Sebab, pekerjaan paling sulit bagi manusia adalah mensyukuri segala nikmat Allah Ta'ala. Bukan soal nilai rupiah, lebih dari itu bagi saya. Ini soal hakikat. Melalui perjalanan ini, saya banyak mendapatkan pelajaran.

Karena setiap langkah adalah karya, karena setiap nafas adalah makna. dan di setiap pikiran selalu ada rencana. Karena dunia ciptaan-Nya ini sungguh indah, seindah-indahnya gradasi warna dalam batas cakrawala" - Ryan W. Januardi

Terima Kasih Wakatobi, Terima Kasih Kendari, Terima Kasih Bumi Anoa

Salam hangat dari kami, semoga Allah selalu melindungi kita semua di manapun berada

Bangil, 28 Ramadhan 1445 H

Recap video (oleh Damara Utama):


*ah, saya seperti baru saja terbangun dari mimpi yang begitu panjang,

Pantai Teluk Ceri Toronipa, 2023